Music Underground

Senin, 01 November 2010

EMO

Ketika mainstream musik saat itu benar-benar telah dibanjiri oleh genre ini, maka gaya penampilan anak-anak muda mulai seragam dan mudah ditebak; rambut polem, celana dan kaos ketat atau kalau mau terlihat lebih nerd mereka menggunakan kacamata berbingkai tebal. Saat itulah istilah emo mulai mengalami pergeseran fungsi yang pada mulanya adalah persoalan musik menjadi persoalan gaya. Saya jadi ingat cerita dari seorang kawan yang pernah bertanya kepada seorang kawannya mengapa ia berdandan polem dan berpakaian ala emo. Dan jawabannya sangat sederhana; karena ia menyukai gaya emo meskipun ketika ditanya lagi apa itu emo ia tak bisa memberi jawaban.

Emo menjadi istilah ejekan bagi anak-anak yang bergaya rambut polem meskipun bagi objek yang bersangkutan tidak jelas mengetahui apa itu musik emo. Ejekan-ejekan tersebut biasanya diasosiasikan dengan karakterisasi jenis musik ini yang cenderung lebih emosional dan agak depresif, sehingga istilah ini juga dapat dilekatkan pada perasaan atau suasana hati. Misalnya seperti beberapa definisi sinis tentang emo yang saya ambil dari sebuah situs lokal:iii

Suatu keadaan di mana kita lagi patah hati,kangen,benci,marah suka sama seseorang,merasa sendiri,jatuh cinta,mo mati,gak ada temen,etc.

Emo itu laki-laki yang lagi marah dan hidupnya penuh emosi

Emo:
1. Aliran musik yang ada screamnya.
2. Rambutnya cuma panjang poninya aza.
3. Pake baju hitam.
4. Biasanya mereka lagi patah hati dan emosi (makan tai lah).

Emo Itu aliran music yg mengarah pada :
1. Emotional
2. Deppresion
3. Alone / Merasa sendiri
4. Broken-Heart

So wajar brruurrr klo anak emo suka triak atau nangis2 gak jelas.

Mengapa semua orang terkesan membenci emo? Bahkan pada akhirnya setelah tidak bergaya emo saya juga ikut-ikutan mencercanya karena terlalu banyak band-band yang mengumbar gaya dan penampilan emo daripada eksplorasi musik yang lebih dinamis. Selain juga karena merasa bosan melihat gaya penampilan anak-anak muda yang selalu seragam. Alasan saya membahas emo sebenarnya berangkat dari kegelisahan mengenai apa yang sebenarnya disebut emo? Band-band seperti apa yang termasuk dalam genre ini dan benarkah bahwa emo memiliki style semacam itu?

Dalam youth culture, pertunjukkan penampilan melalui gaya berpakaian maupun potongan rambut adalah persoalan identifikasi selera musik dan subkultur. Punk dengan rambut Mohawk, skinhead dengan kepala botak dan sepatu booth Dg.Martens, Metalheads dengan rambut gondrong dan dandanan serba hitam, Rastafarian dengan rambut gimbal, Rockabilly yang bergaya macho dan rambut tersisir klimis, atau generasi ska/rocksteady dengan gaya Rudeboys yang menyertainya. Lalu, apakah emo juga merupakan sebuah subkultur yang memiliki gaya penampilan yang khas? TIDAK!!!

Ketika saya menanyakan apa yang disebut dengan emo, mereka sepakat memberikan jawaban bahwa emo adalah emotional. Sebuah aliran bermusik yang sangat mengutamakan kedalaman emosi dan perasaan. Kemudian, muncul istilah-istilah lain yang muncul dari penuturan mereka misanya emocore, power pop, fashioncore dan beberapa istilah lain lagi. Lalu saya menanyakan band-band apa saja yang bisa dibilang sebagai pioneer masuknya emo ke Indonesia, jawabannya hampir menyerupai kasus perkenalan pertama kali saya dengan genre ini sekitar tiga tahun yang lalu. Mereka menyebutkan Finch, The Used, dan sebagainya sebagai band-band peletak aliran musik ini.

1. Persoalan Fashion

Dari obrolan dengan mereka, berulangkali mereka menyebut istilah fashioncore. Salah satu dari mereka bahkan mengakui kalau ia berpenampilan tersebut karena gaya ini yang sedang ngetren meskipun saya akui pengetahuan musiknya juga lumayan. Tampak bahwa mereka lebih menyetujui emo sebagai sebuah gaya dan penampilan daripada sebuah genre musik. Lalu, apa yang dimaksud dengan istilah fashioncore? Bagi mereka, fashioncore adalah sikap berdandan habis-habisan antara lain dengan gaya rambut, model celana ketat, sepatu-sepatu converse, Mcbeth, vans dan beberapa merek populer lainnya. Tak lupa mereka menambahkan bahwa desain baju yang mereka pakai sengaja menggunakan karakter-karakter ‘imut’ untuk menambah kesan nerd, malah kalau kita lebih teliti sekarang ini banyak anak lelaki yang tak malu lagi memakai baju berwarna pink. Itulah fashioncore menurut mereka.

Namun mari kita lihat dari perspektif lain. Dari hasil diskusi saya dengan seorang kawan lain, fashioncore sebenarnya adalah sebuah ejekan bagi seseorang yang hanya mengutamakan gaya penampilan daripada kemampuan musikal. Di lingkungan scene musik, label fashioncore memang lebih sering dilekatkan pada anak-anak emo karena mereka dikenal sangat ‘pesolek’. Namun, herannya justru label ini dengan ‘bangganya’ disebut-sebut oleh mereka sebagai bagian dari genre emo. Bahkan ada sebuah band yang terang-terangan disebut sebagai fashioncore band misalnya From First to Last.

2. Filosofi Musik

Pertanyaan mulai bergeser ke orientasi filosofis dari emo. Lazimnya seperti genre musik yang lain pasti ada yang menjadi landasan ideologis dari musik yang dimainkan. Sekali lagi mari kita tengok genre punk/hardcore yang mengusung kritik sosial dan politik, atau skinhead yang mengumbar nasionalisme dan berbagai tipikal ideologis dari genre-genre musik lain. Saya menemukan kesamaan persepsi dari mereka bahwa emo ialah persoalan emosi dan rata-rata karena persoalan asmara entah itu karena sakit hati ditolak cewek, atau persoalan-persoalan sejenis. Kemudian saya mengajukan pertanyaan iseng, jika emo adalah ‘musik sakit / emo suck’ bisakah radiohead disebut juga sebagai band emo ?v Mereka lalu terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya saya menarik pertanyaan itu karena ternyata lelucon tadi tidak dianggap lucu.

Dari penuturan mereka, emo sebenarnya juga merupakan pengembangan dari aliran-aliran sebelumnya seperti hardcore dan grunge. Mereka mengakui kenyataan bahwa emo dibenci banyak kalangan karena alasan fashion. Mereka juga menambahkan bahwa generasi yang lebih ‘tua’ terlalu bersikap kaku dalam menghadapi perkembangan scene musik. Kekakuan itu juga menjalar pada sikap mereka terhadap sikap disiplin dalam penampilan. Misalnya jika seseorang menjadi punker dia harus tetap dengan gaya punk ‘ortodoks’. Mereka mengatakan bahwa generasi emo yang sekarang merupakan gelombang terbaru dari emo yang terdahulu sehingga tidak ada alasan untuk mengklaim ‘keaslian’ emo. Sangat menarik ketika membahas bagaimana sebenarnya sejarah dari emo itu sendiri sebab bagi kawan saya emo sebenarnya telah ‘mati’. Band-band yang sekarang disebut-sebut sebagai emo sebenarnya tak ada hubungan sama sekali dengan generasi awal emo. Hal ini mengusik saya untuk menelusuri bagaimana sebenarnya musik ini lahir dan berkembang sampai saat ini [jika ternyata belum ‘mati’].

3. Emo Waves

Ada banyak perdebatan dari mana istilah emo muncul. Ada yang mengatakan istilah ini diteriakkan pertama kali seorang penonton konser band Embrace yang kecewa terhadap Ian MacKaye [personel band itu].vi Minor Threat adalah sebuah band punk hardcore yang berorientasi kritik sosial dan politik, dan setelah band ini bubar MacKaye membentuk Embrace yang aliran musiknya cenderung lebih ‘kalem’ meskipun masih bernuansa hardcore. Kalem yang dimaksud ialah tidak lagi meneriakkan protes sosial namun lebih ‘introspektif’. Istilah emo juga dikeluarkan MacKaye dalam sebuah majalah untuk mengolok-olok dirinya sendiri.vii

Definisi emo sebagai sebuah genre musik dan subkultur sebenarnya sangat sulit untuk dijelaskan. Sumber yang lain mengatakan bahwa emo lahir dari sebuah band bernama Rites of Spring.Band ini dianggap sebagai cikal bakal generasi emo yang berpengaruh sampai ke awal tahun 1990an. Ketika salah seorang personelnya Guy Picciotto bersama Ian MacKaye membentuk Fugazi pada tahun 1987 di sinilah emo mulai menemukan definisinya secara ‘resmi’. Namun sebenarnya jika kita mau berpatokan pada akar musiknya, emo adalah sebuah evolusi dari hardcore punk yang membawa lirik-lirik emotive dan berbeda dari akar awalnya yang lirik-liriknya sangat kritis terhadap sistem sosial.

Emo adalah sub-genre dari hardcore punk dan ada yang mengatakan kalau emo ialah anak-anak hardcore yang ‘alim’. Jadi secara musikal emo tak beda jauh dengan hardcore punk. Harus bisa dipahami bahwa emo adalah musik punkrock yang jauh lebih introspektif/depresif dan melodis dari hardcore, tetapi masih kental aura kemarahan dan energi yang prima. Cara termudah untuk mendefinisikan musik ini ialah penggunaan lirik yang puitis dari tema putus cinta, religius atau hal-hal emosional lainnya.ix

Ketika Fugazi semakin populer di kalangan indie/underground, pada tahun 1990 berbagai band baru yang terinspirasi oleh mereka mulai bermunculan. Sebut saja Sunny Day Real Estate, The Promise Ring, Braid, Elliot dan The Get Up Kids. Jimmy Eat World [JEW], sebuah band beraliran punkrock lalu mulai memasukkan unsur emo dalam musiknya dengan merilis album Static Prevails pada tahun 1996. Album ini disebut-sebut sebagai album rekaman emo pertama yang dirilis oleh mayor label setelah band ini meneken kontrak dengan Capitol Records di tahun 1995.

Di akhir tahun 1990an, Scene underground emo hampir sepenuhnya lenyap. Namun, label emo masih sering disebut dalam media mainstream dan selalu dikaitkan dengan sedikit band di tahun 1990an termasuk JEW. Sangat ironis, sebab di penghujung tahun itu JEW lebih ‘menurut ‘ pada arah label rekaman tempat mereka bernaung. Ketika di awal karir mereka memainkan gaya emocore, seiring dengan selera pasar pada tahun 2001 album mereka bertajuk Bleed American cenderung lebih nge-pop dan unsur emo sudah tersamarkan. Masyarakat telah mengenal mereka sebagai sebuah band emo, dan sampai saat ini label itu tetap melekat pada diri mereka. Sehingga ketika banyak band-band baru yang memainkan musik yang sejenis dengan album terbaru JEW, mereka juga dimasukkan ke dalam genre emo.
4. Emo sebagai Imajinasi

Emo masa kini adalah persoalan fashion. Tentang bagaimana seorang anak ingin berpenampilan marah, tertekan, dan depresif melalui penampilan yang ia kenakan. Emo menjadi sangat simplistis dan reduksionis. Mungkin benar apa yang kawan saya katakan bahwa emo sebenarnya telah mati. Label emo sudah dikooptasi atau dibajak media-media mainstream khususnya MTV untuk memberikan daya tarik baru bagi remaja-remaja yang menginginkan sebuah genre atau subkultur yang memenuhi hasrat pelarian emosi mereka dalam bermusik dan berpenampilan.

MTV dan media-media musik secara sembarangan dan latah melabelkan emo pada band-band yang tentunya sangat berbeda dengan semangat emo di awal kelahirannya. Sebut saja Fall Out Boy, Panic at The Disco dan My Chemical Romance yang sekarang menjadi ‘kiblat’ emo baik dari segi musik maupun fashion. Mereka sebenarnya adalah band pop-punk yang telah di-stereotype-kan sebagai band emo. Hal ini tak lain didukung oleh penampilan mereka yang sangat ‘teatrikal’ dan lirik-lirik musiknya yang ‘love depressives’.

Dari sebuah milis yang saya buka, ada sebuah pernyataan dari My Chemical Romance yang mengatakan bahwa mereka bukan band emo. Selain itu mereka memaki-maki label emo sebab itu tak sesuai dengan band mereka. Namun persepsi media tetap berkuasa, bagi banyak kalangan mereka adalah band emo. Dan secara perlahan saya juga mengakui bahwa mereka bukanlah band emo setelah mengetahui akar sejarah dari genre musik ini.

Pete Wentz, basssis sekaligus frontman dari Fall Out Boy saat ini menjadi ikon bagi anak-anak emo. Selain sebagai ikon mode [karena ia dikenal sangat pesolek hampir menyerupai wanita] ia dianggap secara ideologis mewakili wajah genre emo. Untuk menunjukkan ke-emo-annya, ia sering menceritakan keinginannya untuk mengakhiri hidupnya di masa lalu. Dari sebuah artikel yang saya bacax hal itu terasa menggelikan karena buat apa menyedihkan sesuatu di masa lampau ketika ia telah menjadi ikon mode, memenangkan penghargaan multi-platinum awards dan memacari seorang selebritis bernama Ashlee Simpson.
Sejarah mutakhir musik pop dapat dikatakan ditandai oleh suatu kecenderungan ke arah perpaduan secara eksplisit dan terang-terangan terhadap berbagai macam aliran dan genre musik secara sadar [Strinati: 267]. Perpaduan ini bertujuan untuk menciptakan identitas subkultural yang baru. Emo yang pada awalnya merupakan sub-genre dari hardcore punk dan dibesarkan oleh semangat underground/indie tiba-tiba mengalami kematian ketika media mainstream seperti MTV mengkooptasi dan merenggut label emo itu untuk kemudian melekatkannya pada band-band baru yang bermunculan. Di sinilah permainan imajinasi budaya popular dimainkan, ikon-ikon diciptakan bersamaan dengan mitos-mitos yang dilekatkan. Mitos tentang perasaan depresif, tertekan dan amarah, ataupun mitos tentang gaya rambut dan berpakaian.

Nasib emo hampir seperti punk, namun punk lebih ‘beruntung’. Meskipun MTV dengan bangganya menyematkan ‘lencana’ punk kepada Good Charlotte, Sum 41 atau bahkan Avril Lavigne, tetap akan ada para punker ‘ortodoks’ yang masih eksis dan tak terjamah oleh jaring-jaring kapitalisme media. Karena baik secara ideologis bermusik dan berpenampilan, garis yang ditorehkan oleh semangat punk/hardcore masih jelas terlihat. Berbeda dengan emo yang ‘hanya’ merupakan buah ‘perselingkuhan’ antara hardcore punk dan indie rock, sehingga ada banyak kemungkinan untuk mengalami perbedaan persepsi secara musikal. Terlebih lagi ketika media mulai turut campur dalam mengkategorisasikan sebuah genre musik, emo menjadi label yang terkesan ‘murahan’. Band-band yang sejatinya masih bernafaskan oldschool emo tak mau mengusung nama itu lagi, mereka lebih suka mengaku membawa bendera post-hardcore dari pada emo. Padahal jika lebih jeli sebenarnya karakterisasi musikalnya tak jauh beda dengan para pendahulunya.

Kapitalisme dan media selalu mampu merenggut subkultur dan mengkooptasikannya. Dalam budaya massa, perebutan simbol-simbol kebudayaan beserta maknanya akan selalu terjadi. Yang berkuasa yang menentukan. Begitu pula dalam dunia musik. Padahal, sebenarnya sangat tak logis jika sebuah musik itu dikotak-kotakkan. Namun terbukti bahwa media mampu melakukannya, dan itu berpengaruh pada terbentuknya subkultur-subkultur baru. Semua adalah hasil imajinasi tetapi kita semua mampu menikmatinya.

Demikian halnya dengan saya sendiri yang pernah ‘terpukau’ oleh kemunculan emo meskipun pada akhirnya saya merasa tertipu ketika menyadari bahwa emo yang saya sukai tersebut bukanlah emo. Tapi semua adalah proses pengunyahan, dan kita semua akan selalu mengunyahnya. Baik anak-anak polem di Circle K itu, kawan-kawan saya yang selalu mengejek emo, subkultur-subkultur lain; punk, hardcore, skinheads, rudeboys, metalheads, rockabilly, rock n roll, hiphop bahkan sampai ke dangdut. Tergantung apakah kita mampu memuntahkannya atau terus menikmati pesona budaya massa yang selalu hadir.

Akhirnya obrolan kami pada satu malam itu berakhir ketika anak-anak polem tersebut berpamitan pulang. Waktu menunjukkan jam sebelas malam, tiba-tiba muncul satu komentar nakal terhadap rekan saya; Pantas kalau mereka anak emo. Ia kemudian balik bertanya dan dengan entengnya saya jawab; Yah, jam segini kan waktunya menelepon cewek atau jangan-jangan mereka malah mau menghindar dari anak punk?xi Hampir berbarengan kami berdua tertawa dan melanjutkan perjalanan pulang.

1 komentar:

  1. baca disini bagi yg pengen tau pa itu emo sebenarnya http://emotivehardcore1.blogspot.com/

    BalasHapus